Meninggalkan Jejak di Sorong

Saya yang terkantuk-kantuk sejak penerbangan dari Makassar akhir sadar seratus persen saat tiba Sorong. Ini beberapa jepretan saat di Sorong, kota transit sebelum ke Rajaampat.

Dalam perjalanan ini, saya bersama rombongan. Mendarat di Bandara Domine Eduard Osok, saya ikuti saja pergerakan kelompok. Tiba-tiba sudah ada di bus. Aman. Tak perlu pusing cari transportasi.

Sorong kota terbesar kedua di Papua. Lebih besar dari Manokwari, ibukota Papua Barat. Alam Papua Barat yang kaya, terutama dari minyak dan kayu, membuat Sorong menjadi kota pelabuhan yang sibuk. Bisnis jasa pun tumbuh seiring banyaknya kegiatan yang dilakukan para pendatang.

Buat turis yang ingin mengunjungi di Indonesia bagian timur, Sorong juga menjadi sangat penting karena menjadi pintu menuju Rajaampat yang terkenal dengan wisata bawah lautnya. Turis jarang menghabiskan banyak waktu di Sorong.

Nama Sorong awalnya adalah “Soren”, dari bahasa Biak yang berarti lautan dalam dan bergelombang. Istilah ini sering dipakai suku Biak yang ingin berlayar ke Kepulauan Ampat. Seiring berkembangnya waktu, banyak pedagang dari Maluku, Tiongkok, Talaud, dan bahkan misionaris Eropa yang datang ke Sorong. Nama Soren pun berubah jadi Sorong ketika diucapkan para pendatang.

Sorong, meski tidak seperti kota-kota pelabuhan di wilayah Indonesia lainnya, termasuk kota yang lengkap. Dikelilingi hutan yang dilindungi, memiliki pegunungan, perbukitan dan juga dataran rendah. Penduduknya juga dari berbagai budaya dan suku, seperti halnya kota pelabuhan lainnya. Mungkin ini yang membuat Sorong menjadi kota yang tumbuh pesat, dinamis dan toleran.

Saya juga hanya singgah di Sorong. Tapi sempat ngider sebentar sebelum balik ke Jakarta.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.