Tarian Perang Tua Reta Lou

Beberapa pria kekar berkulit gelap mengamati kami. Mereka mengenakan lensu, tutup kepala khas suku Flores. Semua bertelanjang dada. Sarung terlilit di pinggang. Mereka lalu berbaris. Satu orang membawa semacam tiang, yang lain menggotong penyangganya. Sesekali pantulan sinar matahari tampak dari tubuh mereka yang mengkilap. Hari itu terik sekali. Lapangan tanah tempat mereka berkumpul sangat kering.

Gerak-gerak kaki mereka lalu diiringi nyanyian dan tarian. Gerakan yang memberi semangat. Para wanita setengah baya yang mengenakan welak – semacam sarung panjang – menari mengelilingi para pria. Mereka menyambut para ksatria perang. Sesekali terdengar suara melengking memekikan kemenangan.

Di tengah lapangan, tiang ditegakkan. Penyangga ditempatkan sekelilingnya. Sekitar enam orang menahan agar tiang tak goyang. Lalu, seorang lelaki kekar mengambil ancang-ancang. Namanya Stefanus. Rambut ikalnya sedikit lebih panjang dibanding lak-laki lain.

Stefanus mencapai puncak tiang yang memiliki dudukan. Dia menyeimbangkan badan. Duduk, berputar, lalu mencoba telungkup dengan posisi perut berada di dudukuan kayu. Berbagai posisi itu dilakukan Stefanus berulangkali. Sambil meneriakkan kemenangan dan kejayaan.

Warga desa Doka sedang merayakan kemenangan setelah berperang. Stefanus memperagakan seorang raja yang berada di posisi tertinggi. Menguasai langit dan didukung bumi.

Tarian perang bernama Tua Reta Lou ini salah satu pertunjukkan saat saya dan tim melakukan perjalanan ke Sikka, Maumere, NTT. Kami berhenti di desa Doka yang terletak di kecamatan Bola. Di desa ini terdapat Sanggar Doka Tawa. Para anggota sanggar lah yang baru saja melakukan pertunjukkan tarian tadi.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.